SUKU DAYAK
Dayak atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak adalah
nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak,
serta Indonesiayang
terdiri dari Kalimantan
Barat, Kalimantan
Timur, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Selatan). Budaya masyarakat Dayak
adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak
mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan"
atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam
enam rumpun yakni rumpun
Klemantan alias
Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan.
Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di
pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:
·
"Dayak Darat" (13 bahasa)
·
"Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk
bahasa Yakan di Filipina.
·
"Sulawesi Selatan"
dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak
Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
·
"Melayik" dituturkan 3 suku Dayak:
Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu),
Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Kutai, Berau,
Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang
beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak
adalah Tidung, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito
Raya).
ETIMOLOGI
Istilah "Dayak" paling
umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang
tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada
suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun
beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat
beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak
berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang
berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh
menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa
Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin
berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang
tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.
Istilah untuk suku penduduk asli
dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat),
sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah Daya ditujukan
untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya
dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di
Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar
dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar
(daerah sungai
Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang
masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil.
Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun
Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk
kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya
non-Muslim atau non-Melayu. Pada
akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam
konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku
yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan
Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda,
adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di
atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri
masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut
sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya
menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang
paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang
Iban menggunakan
istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai.
Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak
menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang
Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa
setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur,
yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu
sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi
orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.
ASAL MULA
Secara umum kebanyakan penduduk
kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan
adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter
Bellwood danBlust, yaitu bahwa tempat
asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar
4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina.
Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan
menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan
penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60 000 dan 70 000 tahun lalu, waktu
permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan
Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini
"Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan
dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari
daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal
sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang
lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan
kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Tetek
Tahtum menceritakan
perpindahan suku Dayak dari daerah hulu menuju daerah hilir sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku
Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu
sering disebut Nansarunai Usak
Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku
Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke
wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh
Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu
(sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah
selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai
orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai.
Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk
ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai,Margasari,
Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagian lagi
terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar
Hindu yang terkenal adalah Lambung
Mangkurat menurut
orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur,
orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai
Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan.
Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan
pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf hanzi
disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin. Kunjungan
tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar
memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa
dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa
Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada
suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.
Kedatangan bangsa Tionghoa di
selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak
memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan
kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang
Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti
piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa
telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan
perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho,
dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya
singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah
menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas.
Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu,
sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.
DAYAK MASA KINI
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi
dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban,
Murut,Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua
mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun
hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang
berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405
sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki
kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu
apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak
atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material
seperti tembikar, mandau, sumpit,
beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem
perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngajubiasanya
disebut lewu/lebu dan
pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo. Di kecamatan-kecamatan di
Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang
memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, (orang
Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi hanya
sebutan kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya secara "rasial",
manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
§
Malayunoid,
Namun di dunia ilmiah internasional,
istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada umumnya "ras" tidak
lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya faktor yang
membuat adanya kelompok manusia.
TRADISI PENGUBURAN
Tradisi penguburan dan
upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat.
Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan.
Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
§
penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan
posisi kerangka dilipat.
§
penguburan di dalam peti batu (dolmen)
§
penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu,
atau anyaman tikar.
2.
wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan
kererekng (bertiang 1) serta guci.
1.
lubekng (tempat lungun)
2.
garai (tempat lungun, selokng)
3.
gur (lungun)
4.
tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan
penguburan:
1.
penguburan tahap pertama (primer)
2.
penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan primer
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi
dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan,
Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen
yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan
menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam
bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga
cara penguburan, yakni :
§
dikubur dalam tanah
§
diletakkan di pohon besar
§
dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
1.
Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut
Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam
kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan
pertama di dalam tanah.
2.
Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak
Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
3.
Marabia
4.
Mambatur (Dayak Maanyan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar