Sabtu, 11 April 2015

PENDAPAT IMAM SYAFII TENTANG KESEMPURNAAN IMAN

PENDAPAT IMAM SYAFII
TENTANG KESEMPURNAAN IMAN
Disampaikan oleh : Abdullah Sidi Nasution


Menurut Imam Syafii, iman itu adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan (i’tiqad) di dalam hati. Allah menyatakan iman kamu di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 143, adalah shalat kaum muslimin ketika menghadap ke Baitul Maqdis. Allah menamakan shalat itu dengan iman karena ibadah  shalat itu sendiri adalah ucapan, perbuatan dan i’tiqad (al-Intiqa, hal 81).

“Apakah amal yang paling utama?” Imam Syafii menjawab, “sesuatu yang apabila hal itu tidak ada maka semua amal tidak akan diterima.” Ditanyakan lagi, apakah itu ? Dijawab Imam Syafii, “yaitu iman kepada Allah di mana tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia.” Menurut Imam Syafii, iman adalah amal yang paling tinggi derajatnya, paling mulia kedudukannya dan paling bagus buah yang dipetik darinya. Iman adalah perbuatan untuk Allah dan ucapan di dalam beriman merupakan sebagian dari amal.

Keimanan pada anggota tubuh manusia

Bagi Imam Syafii, iman memiliki tingkatan-tingkatan. Ada iman yang sangat sempurna, ada iman yang berkurang dan ada pula iman yang bertambah. Imam Syafii menjelaskan bahwa Allah telah mewajibkan iman atas anggota-anggota badan manusia. Allah membagi iman itu untuk semua anggota badan. Tidak ada satu pun anggota badan manusia, kecuali telah diserahi iman secara berbeda-beda. Semua itu berdasarkan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah.  

Hati, di mana manusia dapat berfikir, memahami dan menghayati sesuatu, merupakan pemimpin di dalam tubuh manusia. Tidak ada gerakan anggota badan kecuali berdasarkan perintah dari hati. Begitu juga dua biji mata, di mana manusia bisa melihat, dua daun telinga di mana manusia bisa mendengar, kedua tangan yang dipakai untuk memukul, kedua kaki yang dipakai untuk memenuhi keinginan hatinya, lidah (lisan) yang dipakai untuk berbicara dan juga kepala di mana terdapat wajahnya.

Allah mewajibkan kepada hati akan hal-hal yang tidak diwajibkan kepada lidah. Pendengaran (telinga) diwa­jibkan untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada mata. Kedua tangan mendapat kewa­jib­an yang tidak sama dengan kaki. Begitu juga farji mendapat kewajiban yang tidak sama dengan wajah.

Adapun kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada hati adalah iman, yaitu berikrar (mengakui), mengetahui, meyakini, ridha dan berserah diri bahwa tidak ada Tuhan (yang Haqq) selain Allah, Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak memiliki isteri dan anak. Dan bahwa Muhammad Saw adalah hamba dan utusan Allah serta mengakui semua yang datang dari Allah, baik Nabi maupun Kitab Suci. Semua itu diwajibkan oleh Allah kepada hati untuk diimani dan hal itu adalah amal (pekerjaan) hati.  
“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka murka Allah menimpanya dan baginya azab yang berat.” QS an-Nahl [16]: 106.

“….. Di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, “kami telah beriman,” padahal hati mereka tidak beriman…..” QS al-Maidah [5] : 41

“ …. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada dalam hati atau menyembunyikannya, niscaya Allah akan melakukan hisab (perhitungan) dengan kamu tentang perbuatan itu…” QS al-Baqarah [2] : 284.

Keimanan seperti itulah yang diwajibkan oleh Allah kepada hati dan hal itu adalah pekerjaan hati; dan juga merupakan pangkal iman. Allah juga mewajibkan kepada lidah (lisan), yaitu mengucapkan dan menyebut­kan apa yang telah diikrarkan dan dia yakini di dalam hatinya. Allah berfirman :

Ucapkanlah, kami beriman kepada Allah.” QS al-Baqarah [2] : 136. Allah juga berfirman : “Katakanlah yang baik-baik kepada manusia.” QS al-Baqarah [2] : 83.

Allah mewajibkan kepada telinga (pendengaran) agar jangan mendengarkan hal-hal yang diharamkan dan dilarang oleh agama. “Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu di dalam al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir), janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat seperti itu) tentulah kamu serupa dengan mereka.” QS an-Nisa : 140.

Namun ada pengecualian, bila seseorang lupa akan larangan duduk-duduk bersama orang kafir itu. Allah berfirman : “Dan jika syaithan menjadikan kamu lupa (akan larangaan itu), maka janganlah kamu duduk-duduk (lagi) bersama orang-orang zalim sesudah teringat (akan larangan itu).” QS al-An’am : 68

“Sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” QS az-Zumar : 17-18. “Apabila mereka mendengar (perkataan) yang tidak berguna, maka mereka berpaling meninggalkannya.” QS al-Qashash : 55. “Dan apabila mereka lewat di depan orang-orang yang melakukan perbuatan (membicarakan) yang sesuatu yang tidak berguna, mereka lewat (saja) dengan senantiasa menjaga kehormatan dirinya.” QS al-Furqan : 72

Kesemua ayat-ayat tersebut menunjukkan adanya kewajiban yang ditetapkan Allah kepada telinga agar ia membersihkan dirinya dari hal-hal yang haram untuk didengar. Dan hal itu merupakan pekerjaan telinga, termasuk bahagian dari iman.

Allah mewajibkan kepada dua mata manusia agar tidak melihat-lihat hal-hal yang diharamkan. Dalam hal ini Allah berfirman : “Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan matanya dan menjaga kemaluannya.” QS an-Nur : 30-31. Di dalam ayat ini Allah melarang orang mukmin untuk melihat kemaluan orang lain dan juga menyuruhnya agar menjaga kemaluannya sendiri supaya tidak dillihat orang lain. Setiap ungkapan “menjaga kemaluan” di dalam al-Qur’an, berkaitan dengan perbuatan zina, kecuali dalam ayat ini, maksudnya adalah melihat. Itulah kewajiban yang ditetapkan Allah kepada kedua mata manusia dan itu merupakan pekerjaan mata, termasuk dalam iman.

Kemudian, Allah memberitahukan apa yang wajib dikerjakan oleh hati, telinga dan mata dalam sebuah ayat berikut ini : “Dan janganlah kamu melakukan hal-hal yang tidak kamu ketahui. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.” QS al-Isra : 36.

Maksud ayat ini adalah bahwa Allah mewajibkan kepada farj (kemaluan) agar tidak digunakan untuk hal-hal yang haram. Allah berfirman : “Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu.” QS Fushshilat : 22. Yang dimaksud dengan kata “kulitmu” dalam ayat ini adalah “kemaluan dan paha.” Dan itulah yang diwajibkan oleh Allah kepada kemaluan agar menjaga dirinya dari hal-hal yang tidak halal. Dan itu merupakan pekerjaan kemaluan.

Allah juga mewajibkan kedua tangan agar tidak digunakan untuk hal-hal yang diharamkan, tetapi justru digunakan dalam hal-hal yang diperintahkan Allah, seperti : memberi sedekah, bersilaturrahmi, jihad fi sabilillah, memerangi orang-orang kafir di medan perang dan bersuci untuk shalat. Allah berfirman :

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan shalat, maka basuhlah wajahmu, tanganmu sampai dengan siku, sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki….” QS al-Maidah : 6. Firman Allah : “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Jika kamu mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan.” QS Muhammad : 4.

Allah juga mewajibkan kedua kaki untuk tidak berjalan kepada hal-hal yang diharamkan Allah. Dalam hal ini Allah berfirman : “Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” QS al-Isra : 37

Allah mewajibkan wajah untuk sujud kepada-Nya pada waktu siang maupun malam dan juga pada waktu-waktu shalat. Allah berfirman :

 “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, bersujudlah, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan.” QS al-Hajj : 77.
Allah juga berfirman : “Dan sesungguh­nya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, maka janganlah kamu sembah siapapun di samping Allah.” QS al-Jin : 18

Maksudnya adalah menyembah Allah di masjid di mana manusia melakukan shalat dengan sujud. Dan itulah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah kepada anggota tubuh (badan) manusia.

Allah juga menyebutkan bahwa bersuci (wudhu’) dan shalat sebagai iman, yaitu ketika Allah memerintah­kan kepada Nabi Muhammad Saw untuk memalingkan wajahnya dari menghadap ke Bait al-Maqdis dalam shalat dan beralih menghadap ke Ka’bah di Makkah. Sementara kaum muslimin telah melakukan shalat selama enam belas bulan. Mereka mengadu kepada Nabi Saw sambil bertanya : “Ya Rasulullah bagaimana dengan shalat kami yang menghadap ke Bait al-Maqdis, apakah diterima oleh Allah?” Kemudian, Allah menurunkan ayat : “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan iman kamu. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”QS al-Baqarah : 143.

Dalam ayat ini Allah telah menamakan shalat dengan iman. Maka siapa yang kelak bertemu dengan Allah, hendaklah menjaga shalat-shalatnya, menjaga anggota badannya, mengerjakan dengan seluruh anggota badannya apa yang diperintahkan dan diwajibkan Allah, maka ia bertemu dengan Allah dengan iman yang sempurna dan ia termasuk penghuni surga. Sebaliknya, siapa yang anggota badannya sengaja meninggal­kan perintah-perintah Allah, maka ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan iman yang berkurang. Begitulah penjelasan Imam Syafii tentang berkurang dan sempurnanya iman

Bukti Kesempurnaan Iman  

Ketika ditanya bagaimana caranya sehingga iman bisa bertambah, Imam Syafii menjawab dengan menyebut firman Allah :

Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafiq) ada yang berkata : “Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan turunnya (surat) ini?” Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya dan mereka merasa bergembira. Adapun orang-orang yang hatinya ada penyakit, maka dengan surat itu menambah kekafiran mereka di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” QS a-Taubah : 124-125. Allah juga berfirman : “Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka itu hidayah.” QS al-Kahfi : 13.

Imam Syafii lebih lanjut menjelaskan, sekiranya iman itu satu, tidak bertambah atau berkurang, maka tidak akan ada kelebihan bagi seseorang dan derajat semua manusia adalah sama. Tetapi dengan sempurnanya iman, orang mukmin akan masuk surga dan dengan bertambahnya iman orang-orang mukmin mempero­leh keunggulan di dalam tingkatan-tingkatan surga. Sebaliknya, bagi orang-orang yang imannya kurang, maka mereka akan dimasukkan ke dalam neraka.

Allah akan mendahulukan orang beriman ke dalam surga. Manusia akan memperoleh haknya berdasar­kan kedahuluannya dalam beriman. Setiap orang akan memperoleh haknya, tidak dikurangi sedikitpun. Yang datang belakangan tidak akan didahulukan. Yang tidak mulia (karena rendahnya iman) tidak akan didahulukan daripada orang yang mulia (karena ketinggian iman). Itulah kelebihan orang-orang yang terdahulu dari umat ini. Seandainya orang-orang yang beriman lebih dahulu itu tidak mempunyai kelebihan, niscaya akan sama nilainya orang yang beriman belakangan dengan dengan orang-orang yang beriman lebih dahulu. (Manaqib asy-Syafii, I/387-393.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar