PENDAPAT
IMAM SYAFII
TENTANG
KESEMPURNAAN IMAN
Disampaikan
oleh : Abdullah Sidi Nasution
Menurut Imam Syafii,
iman itu adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan (i’tiqad) di dalam hati. Allah
menyatakan iman kamu di dalam QS.
Al-Baqarah [2]: 143, adalah shalat kaum muslimin ketika menghadap ke Baitul
Maqdis. Allah menamakan shalat itu dengan iman karena ibadah shalat itu sendiri adalah ucapan, perbuatan
dan i’tiqad (al-Intiqa, hal 81).
“Apakah amal yang
paling utama?” Imam Syafii menjawab, “sesuatu yang apabila hal itu tidak ada
maka semua amal tidak akan diterima.” Ditanyakan lagi, apakah itu ? Dijawab
Imam Syafii, “yaitu iman kepada Allah di mana tidak ada Tuhan yang berhak
disembah selain Dia.” Menurut Imam Syafii, iman adalah amal yang paling tinggi
derajatnya, paling mulia kedudukannya dan paling bagus buah yang dipetik
darinya. Iman adalah perbuatan untuk Allah dan ucapan di dalam beriman
merupakan sebagian dari amal.
Keimanan pada anggota tubuh manusia
Bagi Imam Syafii,
iman memiliki tingkatan-tingkatan. Ada iman yang sangat sempurna, ada iman yang
berkurang dan ada pula iman yang bertambah. Imam Syafii menjelaskan bahwa Allah
telah mewajibkan iman atas anggota-anggota badan manusia. Allah membagi iman
itu untuk semua anggota badan. Tidak ada satu pun anggota badan manusia,
kecuali telah diserahi iman secara berbeda-beda. Semua itu berdasarkan
kewajiban yang ditetapkan oleh Allah.
Hati, di mana manusia dapat berfikir, memahami dan menghayati
sesuatu, merupakan pemimpin di dalam
tubuh manusia. Tidak ada gerakan anggota badan kecuali berdasarkan perintah dari
hati. Begitu juga dua biji mata, di mana manusia bisa melihat, dua daun telinga
di mana manusia bisa mendengar, kedua tangan yang dipakai untuk memukul, kedua
kaki yang dipakai untuk memenuhi keinginan hatinya, lidah (lisan) yang dipakai
untuk berbicara dan juga kepala di mana terdapat wajahnya.
Allah mewajibkan
kepada hati akan hal-hal yang tidak diwajibkan kepada lidah. Pendengaran
(telinga) diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada
mata. Kedua tangan mendapat kewajiban yang tidak sama dengan kaki. Begitu
juga farji mendapat kewajiban yang tidak sama dengan wajah.
Adapun kewajiban
yang dibebankan oleh Allah kepada hati adalah iman, yaitu berikrar (mengakui),
mengetahui, meyakini, ridha dan berserah diri bahwa tidak ada Tuhan (yang Haqq)
selain Allah, Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak memiliki isteri dan
anak. Dan bahwa Muhammad Saw adalah hamba dan utusan Allah serta mengakui semua
yang datang dari Allah, baik Nabi maupun Kitab Suci. Semua itu diwajibkan oleh
Allah kepada hati untuk diimani dan hal itu adalah amal (pekerjaan) hati.
![]() |
“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia
tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka murka Allah menimpanya dan baginya
azab yang berat.” QS an-Nahl [16]: 106.
![]() |
“….. Di antara orang-orang yang mengatakan dengan
mulut mereka, “kami telah beriman,”
padahal hati mereka tidak beriman…..”
QS al-Maidah [5] : 41
![]() |
“ …. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada dalam hati atau menyembunyikannya, niscaya
Allah akan melakukan hisab (perhitungan) dengan kamu tentang perbuatan itu…” QS
al-Baqarah [2] : 284.
Keimanan seperti
itulah yang diwajibkan oleh Allah kepada hati dan hal itu adalah pekerjaan
hati; dan juga merupakan pangkal iman. Allah juga mewajibkan kepada lidah (lisan), yaitu mengucapkan dan menyebutkan apa yang telah
diikrarkan dan dia yakini di dalam hatinya. Allah berfirman :
![]() |
“Ucapkanlah, kami beriman kepada Allah.” QS al-Baqarah [2]
: 136. Allah juga berfirman : “Katakanlah yang baik-baik kepada manusia.” QS
al-Baqarah [2] : 83.
Allah mewajibkan
kepada telinga (pendengaran) agar
jangan mendengarkan hal-hal yang diharamkan dan dilarang oleh agama. “Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu di dalam
al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olok (oleh orang-orang kafir), janganlah kamu duduk beserta mereka,
sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu
berbuat seperti itu) tentulah kamu serupa dengan mereka.” QS an-Nisa : 140.
Namun ada
pengecualian, bila seseorang lupa akan larangan duduk-duduk bersama orang kafir
itu. Allah berfirman : “Dan jika syaithan menjadikan
kamu lupa (akan larangaan itu), maka janganlah kamu duduk-duduk (lagi) bersama
orang-orang zalim sesudah teringat (akan larangan itu).” QS al-An’am : 68
“Sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal.” QS az-Zumar : 17-18. “Apabila mereka
mendengar (perkataan) yang tidak berguna, maka mereka berpaling
meninggalkannya.” QS al-Qashash : 55. “Dan apabila mereka lewat di depan
orang-orang yang melakukan perbuatan (membicarakan) yang sesuatu yang tidak
berguna, mereka lewat (saja) dengan senantiasa menjaga kehormatan dirinya.” QS
al-Furqan : 72
Kesemua ayat-ayat
tersebut menunjukkan adanya kewajiban yang ditetapkan Allah kepada telinga agar
ia membersihkan dirinya dari hal-hal yang haram untuk didengar. Dan hal itu
merupakan pekerjaan telinga, termasuk bahagian dari iman.
Allah
mewajibkan kepada dua mata manusia
agar tidak melihat-lihat hal-hal yang diharamkan. Dalam hal ini Allah berfirman
: “Katakanlah kepada orang-orang yang beriman,
hendaklah mereka menahan pandangan matanya dan menjaga kemaluannya.” QS an-Nur
: 30-31. Di dalam ayat ini Allah melarang orang mukmin untuk melihat
kemaluan orang lain dan juga menyuruhnya agar menjaga kemaluannya sendiri supaya
tidak dillihat orang lain. Setiap ungkapan “menjaga
kemaluan” di dalam al-Qur’an, berkaitan dengan perbuatan zina, kecuali
dalam ayat ini, maksudnya adalah melihat.
Itulah kewajiban yang ditetapkan Allah kepada kedua mata manusia dan itu
merupakan pekerjaan mata, termasuk dalam iman.
Kemudian, Allah
memberitahukan apa yang wajib dikerjakan oleh hati, telinga dan mata dalam
sebuah ayat berikut ini : “Dan janganlah kamu
melakukan hal-hal yang tidak kamu ketahui. Karena sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati itu, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.” QS
al-Isra : 36.
Maksud ayat ini
adalah bahwa Allah mewajibkan kepada farj
(kemaluan) agar tidak digunakan untuk hal-hal yang haram. Allah berfirman :
“Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari
kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu
terhadapmu.” QS Fushshilat : 22. Yang dimaksud dengan kata “kulitmu” dalam ayat ini adalah “kemaluan
dan paha.” Dan itulah yang diwajibkan oleh Allah kepada kemaluan agar menjaga
dirinya dari hal-hal yang tidak halal. Dan itu merupakan pekerjaan kemaluan.
Allah juga
mewajibkan kedua tangan agar tidak
digunakan untuk hal-hal yang diharamkan, tetapi justru digunakan dalam hal-hal
yang diperintahkan Allah, seperti : memberi sedekah, bersilaturrahmi, jihad fi
sabilillah, memerangi orang-orang kafir di medan perang dan bersuci untuk
shalat. Allah berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
melakukan shalat, maka basuhlah wajahmu, tanganmu sampai dengan siku, sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki….” QS al-Maidah : 6.
Firman Allah : “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang)
maka pancunglah batang leher mereka. Jika kamu mengalahkan mereka, maka
tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima
tebusan.” QS Muhammad : 4.
Allah juga
mewajibkan kedua kaki untuk tidak
berjalan kepada hal-hal yang diharamkan Allah. Dalam hal ini Allah berfirman : “Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan
sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan
sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” QS al-Isra : 37
Allah mewajibkan wajah untuk sujud kepada-Nya pada waktu
siang maupun malam dan juga pada waktu-waktu shalat. Allah berfirman :
“Hai
orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, bersujudlah, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan.” QS al-Hajj : 77.
Allah juga berfirman : “Dan sesungguhnya
masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, maka janganlah kamu sembah siapapun
di samping Allah.” QS al-Jin : 18
Maksudnya adalah menyembah
Allah di masjid di mana manusia melakukan shalat dengan sujud. Dan itulah
kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah kepada anggota tubuh (badan) manusia.
Allah juga
menyebutkan bahwa bersuci (wudhu’) dan shalat sebagai iman, yaitu ketika Allah
memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk memalingkan wajahnya dari
menghadap ke Bait al-Maqdis dalam shalat dan beralih menghadap ke Ka’bah di
Makkah. Sementara kaum muslimin telah melakukan shalat selama enam belas bulan.
Mereka mengadu kepada Nabi Saw sambil bertanya : “Ya Rasulullah bagaimana
dengan shalat kami yang menghadap ke Bait al-Maqdis, apakah diterima oleh
Allah?” Kemudian, Allah menurunkan ayat : “Dan
Allah sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan iman kamu. Karena sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”QS al-Baqarah : 143.
Dalam ayat ini Allah
telah menamakan shalat dengan iman. Maka siapa yang kelak bertemu dengan Allah,
hendaklah menjaga shalat-shalatnya, menjaga anggota badannya, mengerjakan
dengan seluruh anggota badannya apa yang diperintahkan dan diwajibkan Allah,
maka ia bertemu dengan Allah dengan iman yang sempurna dan ia termasuk penghuni
surga. Sebaliknya, siapa yang anggota badannya sengaja meninggalkan
perintah-perintah Allah, maka ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan iman
yang berkurang. Begitulah penjelasan Imam Syafii tentang berkurang dan
sempurnanya iman
Bukti Kesempurnaan Iman
Ketika ditanya bagaimana
caranya sehingga iman bisa bertambah, Imam Syafii menjawab dengan menyebut
firman Allah :
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara
mereka (orang-orang munafiq) ada yang berkata : “Siapa di antara kamu yang
bertambah imannya dengan turunnya (surat) ini?” Adapun orang yang beriman, maka
surat ini menambah imannya dan mereka merasa bergembira. Adapun orang-orang
yang hatinya ada penyakit, maka dengan surat itu menambah kekafiran mereka di samping
kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” QS a-Taubah
: 124-125. Allah juga berfirman : “Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman
kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka itu hidayah.” QS al-Kahfi
: 13.
Imam Syafii lebih
lanjut menjelaskan, sekiranya iman itu satu, tidak bertambah atau berkurang,
maka tidak akan ada kelebihan bagi seseorang dan derajat semua manusia adalah
sama. Tetapi dengan sempurnanya iman, orang mukmin akan masuk surga dan dengan
bertambahnya iman orang-orang mukmin memperoleh keunggulan di dalam tingkatan-tingkatan
surga. Sebaliknya, bagi orang-orang yang imannya kurang, maka mereka akan
dimasukkan ke dalam neraka.
Allah akan
mendahulukan orang beriman ke dalam surga. Manusia akan memperoleh haknya
berdasarkan kedahuluannya dalam beriman. Setiap orang akan memperoleh haknya,
tidak dikurangi sedikitpun. Yang datang belakangan tidak akan didahulukan. Yang
tidak mulia (karena rendahnya iman) tidak akan didahulukan daripada orang yang
mulia (karena ketinggian iman). Itulah kelebihan orang-orang yang terdahulu
dari umat ini. Seandainya orang-orang yang beriman lebih dahulu itu tidak
mempunyai kelebihan, niscaya akan sama nilainya orang yang beriman belakangan
dengan dengan orang-orang yang beriman lebih dahulu. (Manaqib asy-Syafii,
I/387-393.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar